PENA24.COM, HONGKONG– Sebanyak 45 mantan anggota legislatif dan aktivis pro-demokrasi dijatuhi hukuman penjara empat hingga sepuluh tahun di Hong Kong. Mereka dihukum berdasarkan undang-undang keamanan nasional 2020, dilansir dari AP News, Selasa (19/11/2024).
Mereka dihukum atas peran mereka dalam pemilihan primer tidak resmi yang digelar pada Juli 2020. Pemilihan itu diikuti 610.000 pemilih dan dirancang untuk mempengaruhi pemilihan resmi yang akhirnya dibatalkan pemerintah beralasan pandemi.
Benny Tai, yang dianggap sebagai otak dari rencana tersebut, dijatuhi hukuman sepuluh tahun, hukuman terberat di antara mereka. Benny dan mantan anggota legislatif Alvin Yeung tidak diberikan pengurangan hukuman meskipun mereka adalah pengacara.
Mereka tidak diberikan pengurangan hukum karena mereka gigih mendorong implementasi rencana tersebut. Hakim menilai Benny mengadvokasi revolusi melalui artikel-artikel yang dia tulis selama beberapa bulan.
Terdakwa lainnya, termasuk mantan pemimpin mahasiswa Joshua Wong, dijatuhi hukuman yang lebih ringan, seperti empat tahun delapan bulan. Para aktivis dituduh berusaha melumpuhkan pemerintah Hong Kong dengan memenangkan mayoritas legislatif dan memblokir anggaran pemerintah.
Beberapa terdakwa mengaku bersalah, sementara yang lainnya divonis bersalah atas konspirasi untuk melakukan subversi. Putusan ini mencerminkan penindasan terhadap oposisi setelah protes besar-besaran anti-pemerintah pada 2019.
Pihak berwenang Hong Kong dan Beijing menyatakan bahwa undang-undang keamanan nasional diperlukan untuk menjaga stabilitas kota tersebut. Sementara itu, pemerintah asing dan organisasi hak asasi manusia mengecam hukuman tersebut.
Konsulat AS di Hong Kong mengutuk keras hukuman ini. Ia menyatakan para terdakwa dihukum karena berpartisipasi dalam kegiatan politik damai yang dilindungi oleh hukum dasar Hong Kong.
Dua dari 47 terdakwa awal dibebaskan lebih awal, sementara yang lain menjalani proses hukum yang panjang. Proses ini menunjukkan bagaimana kebebasan sipil di Hong Kong semakin tergerus sejak kembalinya ke Tiongkok pada 1997.
Pengamat internasional menyatakan bahwa tindakan ini mencerminkan semakin kaburnya komitmen Beijing terhadap kebebasan yang dijanjikan. Banyak yang berharap publik akan menunjukkan solidaritas mereka dalam proses ini.
Sebagian besar terdakwa mengaku bersalah untuk mendapatkan hukuman lebih ringan. Namun, banyak yang tetap teguh pada keyakinan mereka dalam memperjuangkan demokrasi di Hong Kong. (*/Arnold)