PENA24.COM, Jakarta – Ribuan massa menggelar aksi unjuk rasa kawal Putusan MK di depan kompleks Parlemen DPR RI, Jakarta, pada Kamis, 22 Agustus 2024 kemarin. Agenda serupa juga digelar di berbagai kota besar di Indonesia seperti Surabaya, Surakarta, hingga Makassar.
Lantas seperti apa penyebab dan kronologi terjadinya demo kawal putusan MK ini?
Demonstrasi serentak ini buntut dari keputusan panitia kerja (panja) Badan Legislasi atau Baleg DPR RI menganulir putusan MK ihwal Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah atau UU Pilkada. Mereka menuntut DPR tidak mengangkangi putusan MK soal ambang batas syarat pencalonan kepala daerah.
Adapun MK dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk partai politik atau parpol. Semula syaratnya minimal 20 persen kursi parlemen. MK lalu memutuskan parpol maupun koalisi yang tidak mendapatkan kursi di DPRD tetap bisa mencalonkan kandidat. Asalkan, memenuhi perolehan suara yang disyaratkan MK.
Ada empat klasifikasi besaran suara sah berdasarkan putusan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran Daftar Pemilih Tetap (DPT) di daerah terkait. Syarat besaran suara sah untuk Jakarta adalah 7,5 persen.
Putusan MK ini merupakan keputusan hukum terhadap permohonan uji materiil Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada ke MK diajukan oleh Partai Buruh bersama Partai Gelombang Rakyat Indonesia alias Partai Gelora pada Selasa, 21 Mei 2024 lalu. Ketua Tim Kuasa Hukum Partai Buruh dan Partai Gelora, Said Salahudin, melihat beleid ini tidak nemiliki asas keadilan.
“Nah, aturan ini tentu saja tidak adil karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan pemilu dan juga persamaan di antara partai-partai politik peserta pemilu 2024,” ucap Said saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 21 Mei 2024.
Ketentuan dalam Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut kemudian dimasukkan oleh Panja Badan Legislasi atau Baleg DPR RI di dalam draf Pasal 40 RUU Pilkada. Namun, saat pembahasan perubahan keempat UU Pilkada pada Rabu, 21 Agustus 2024, wakil rakyat hanya menyepakati penurunan syarat ambang batas Pilkada hanya berlaku bagi partai yang tak memiliki kursi DPRD.
Dalam Daftar Inventarisasi Masalah yang dibacakan dalam rapat Panja RUU Pilkada, partai politik yang mendapatkan kursi parlemen daerah tetap menggunakan syarat lama ambang batas Pilkada.
“Partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan,” bunyi ketentuan tersebut.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang hadir dalam rapat Panja Baleg itu juga mengatakan pemerintah menyetujui hasil pembahasan tersebut untuk dibawa ke rapat paripurna DPR. Selanjutnya, Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi yang memimpin rapat Panja Baleg menanyakan persetujuan peserta rapat. Lalu mayoritas peserta rapat menyatakan persetujuannya.
Mayoritas peserta rapat itu merupakan delapan fraksi di Baleg DPR. Kedelapan fraksi yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan. Hanya fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menentang hasil pembahasan revisi UU Pilkada tersebut.
“Fraksi PDI Perjuangan menyatakan sikap tidak sependapat dengan RUU tersebut untuk dibahas pada tingkat selanjutnya,” kata M. Nurdin, legislator PDI Perjuangan dalam rapat Panja Baleg, Rabu, 21 Agustus 2024.
Rencananya, DPR akan mengesahkan RUU Pilkada melalui paripurna pada Kamis, 22 Agustus 2024. Namun, gelombang demontrasi terjadi di beberapa kota besar. Sejumlah kalangan dari berbagai elemen seperti mahasiswa, organisasi sipil, dan media menyalakan sinyal peringatan darurat turun ke jalan seiring kabar DPR menganulir Putusan MK itu.